![]() |
| Kerja untuk pensiun (unsplash/Marten Bjork) |
Aku baru saja kerja sebagai pegawai kontrak di sebuah media online yang cukup ternama di Indonesia. Namun, situasi kurang mengenakkan terjadi beberapa waktu lalu.
Tiba-tiba saja, perusahaan melakukan lay off ke sejumlah pegawai. Hal itu tentu membuat gonjang-ganjing seisi kantor.
Sebenarnya, bukan itu yang mau aku komentarin. Tapi, lebih kepada sisi, kenapa kita baru kerja tapi dipaksa untuk pensiun?
Memang, sebenarnya aku sudah bekerja di perusahaan yang bersangkutan sejak 2018 lalu sebagai kontributor lepas hingga editor lepas.
Namun, keberuntungan memihakku hingga akhirnya setelah 4 tahun bekerja sebagai freelancer, mereka menawariku posisi sebagai karyawan kontrak.
Akan tetapi, baru berjalan setahun aku bekerja sebagai karyawan kontrak, banyak pegawai yang di-lay off dan tiba-tiba tidak memiliki pekerjaan tetap lagi. (Aku tidak tahu, apakah mereka punya kerjaan sampingan atau yang lainnya).
Jujur saja, ini membuatku khawatir, jangan-jangan akan ada lay off gelombang selanjutnya dan namaku ada di dalamnya. Hufftt, baru saja jadi pegawai kontrak, kalau tidak diperpanjang kontraknya, aku bisa apa?
Setelah itu, muncul sebuah wejangan dari salah satu atasanku di kantor. Bahwa, seharusnya kita sebagai karyawan, jangan hanya mengandalkan satu pekerjaan saja.
Ia bahkan tidak mempermasalahkan jika kita memiliki pekerjaan di tempat lain, kerja lepas atau per proyek misalnya. Hanya saja, jangan bilang-bilang ke kantor (ya, siapa juga yang berani mati melakukannya?).
Ditambah lagi, ia menjelaskan bahwa dirinya tidak perlu jabatan yang "muluk-muluk", ia hanya akan mengumpulkan uang untuk membeli sawah demi masa tuanya nanti. Bahkan, ketika skenario terburuk terjadi, dia kena lay off misalnya, dia sudah memiliki perahu lain, yaitu mengurus sawah yang sudah dibelinya saja.
Baiklah, mungkin membeli sawah adalah hal yang mungkin dan realistis dilakukan oleh si bos, mengingat ia sudah memiliki masa kerja yang cukup panjang dibandingkan aku yang baru setahun.
Belum lagi, jabatan yang bos emban saat ini tentu saja menghasilkan lebih banyak gaji, dibandingkan aku yang baru pegawai kontrak ini.
Kenapa, aku yang baru bekerja setahun sebagai pegawai kontrak ini harus sudah diminta memikirkan bagaimana aku akan pensiun?
Bahkan, ketika aku kena lay off, uang pesangonku juga tidak seberapa. Mungkin hanya bisa membiayaiku hidup tanpa kerja sebulan sampai dua bulan saja. Itupun, belum tentu akan bisa mendapatkan pekerjaan baru.
Huffftt... mencari kerja di zaman sekarang lagi sulit. Bahkan, di penghujung tahun 2023 ini, aku mendengar selentingan bahwa banyak perusahaan yang juga melakukan lay off besar-besaran kepada pegawainya demi efisiensi dan perampingan personel.
Bahkan, di salah satu perusahaan tempat temanku bekerja, perusahaannya sudah melakukan lay off kepada 100 pegawai selama tahun 2023.
Mau tidak mau, satu pegawai harus mengerjakan 2-3 role yang sebelumnya tidak ia kerjakan. Demi efisiensi dan menekan pengeluaran, katanya.
Aku rasa, kita semua menginginkan masa pensiun yang tenang dan penuh perencanaan. Namun, realistis nggak, sih kalau kita baru kerja tapi harus sudah memikirkan bagaimana kita pensiun nanti?
Padahal, mungkin saja gaji kita sekarang hanya cukup membiayai kebutuhan sehari-hari. Bahkan, kita yang sandiwich generation, bisa saja tidak sempat menyisihkan uang untuk menabung karena harus mengirim uang kepada keluarga di kampung.
Lagi-lagi, untuk bisa menikmati masa pensiun seperti yang kita inginkan, kita yang harus lebih bekerja keras. Mengambil pekerjaan sampingan, tidak hanya satu, tiga misalnya.
Ditambah, saat ini banyak juga kampanye tentang mempersiapkan dana pensiun untuk masa tua nanti. Yang artinya, kita harus sudah mengumpulkan sekian banyak uang, jika ingin penisun dengan tenang.
Sebenernya, kalau ditanya, bagaimana denganmu? Apakah kamu sudah memikirkan soal penisun?
Aku sendiri, sebenernya pingin banget menjalani gaya hidup slow living, selow aja tanpa harus merasa dikejar oleh sebuah target harus begini-harus begitu.
Namun, jika aku mengejar gaya hidup slow living, aku juga sadar bahwa aku harus meninggalkan keinginanku untuk bisa pensiun dengan tenang. Karena sudah pasti, aku tidak bisa mengumpulkan dana penisun dengan cepat jika aku ingin menjalani kehidupan tanpa tergesa-gesa.
Aku sadar, ini cuman sebatas sambatan seorang buruh yang dilanda dilema. Antara dia ingin menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja tanpa mengkhawatirkan masa depan, atau hidup penuh target agar masa depan terjamin.
Hidup dengan slow living memang mendorong kita memperlambat langkah, menikmati momen-momen kecil dan menyadari nilai-nilai yang lebih dalam di hidup ini.
Kayaknya, terlalu muluk jika aku bilang, aku ingin hidup slow living dan nantinya bisa pensiun dengan tenang karena punya sawah dan menikmati kehidupan di desa. Meskipun, ini adalah kebanyakan keinginan kita semua. Pilihan kembali lagi, ada di tangan kita.
Aku nggak menyalahkan siapapun yang sudah memiliki target dalam hidup mereka hingga penisun nanti. Aku juga nggak punya masalah dengan mereka yang memutuskan hidup biasa-biasa saja, kerja sampai tua dan tidak mempersiapkan dana pensiun.
Kita punya jalan masing-masing dan pilihan masing-masing untuk kebahagiaan kita. Kita tidak bisa mengukur kebahagiaan diri kita dengan parameter kebahagiaan orang lain, begitu juga sebaliknya.
Kalian sendiri, jalan mana yang kalian pilih?

Komentar
Posting Komentar